Friday, January 24, 2014

Fisika Medis Semakin di Butuhkan Dunia Radiologi



Prinsip utama yang harus dipegang terkait proteksi radiasi sinar radioaktif adalah ALARA (As Low As Reasonably Achievable). Kendati demikian, belum ada standar baku penggunaan radioaktif terutama dalam dunia medis. "Yang ada baru rekomendasi-rekomendasi yang dikeluarkan olehInternational Commission on Radiological Protection (ICRP). Rekomendasi ini pula yang diimplementasikan di Indonesia karena belum adanya standar baku", kata Dr. Johan Noor kepada PRASETYA Online terkait paparannya dalam kegiatan "The 10th Asia-Oceania Congress of Medical Physics" yang diselenggarakan di Taiwan beberapa waktu silam (15-17/10).Dalam kesempatan tersebut, ia mempresentasikan makalahnya yang bertajuk "National Dose Reference Level for Head CT in Indonesia: the Beginning". Untuk CT Scan misalnya, ia menyampaikan, dosis efektif standar yang ditetapkan ICRP (publikasi no. 102) untuk satu kali scanningadalah 2 mSv (milisievert). "Padahal untuk CT Scan kepala besarnya lebih dari 100 kali thorax X-Ray, yang untuk sekali foto dosis efektifnya mencapai 0.02 mSv", kata dia.

Temporary hair loss, 37 hari setelah perfussion CT di kepala


Mengingat resiko bahaya yang diakibatkan paparan sinar radioaktif, dalam penelitiannya Johan berupaya untuk memproteksi khalayak ramai dari paparan radiasi terutama Sinar X. Lebih lanjut, alumni program magister dan doktoral University of New South Wales Australia ini menguraikan bahwa efek pemanfaatan radioaktif ada dua yakni efek deterministik dan efek stokastik. Efek deterministik yang dapat berupa kematian ataupun cacat fisik, menurutnya tercatat dalam sejarah Chernobyl (Rusia), Bhopal (India), Hiroshima (Jepang) dan Nagasaki 




Seorang Fisika Medis dalam rutinitasnya di Australia

(Jepang). "Yang lebih berbahaya justru efek stokastik karena bersifat subyektif, sangat bergantung daya tahan individu. Dengan dosis yang sama, reaksi tiap individu bisa jadi berbeda", kata dia. Terkait efek stokastik ini, Johan memberikan kasus di Jepang, dimana seorang wanita mengalami temporary hair loss pada hari ke-37 setelah melakukan perfussion CT di kepala. Resiko ini bukan hanya tertuju pada pasien yang berhubungan langsung dengan peralatan berbahan radioaktif tapi juga khalayak (awam) atau bahkan radiographer sendiri. "Untuk khalayak (awam), standar proteksi radiasinya adalah 1 mSv/tahun. Radiasi ini bisa darimana saja termasuk sinar matahari dan lingkungan sekitar. Bahkan penggunaan asbes sebagai eternit rumah pun mengandung paparan sinar radiasi", katanya. Sementara untuk radiographer yang memang rutinitas kesehariannya berkaitan dengan radiografi, memiliki standar proteksi radiasi sebesar 20 mSv/tahun. Untuk mengurangi resiko radiasi, para radiographer biasanya melakukan treatment dengan minum satu gelas susu murni dan dua butir telur ayam setiap hari. Sementara untuk obyek radiografi, penderita kanker misalnya, harus melakukan treatment dan berhenti tiap 10 kali proses teleterapi.


Karena berbagai bahaya tersebut, Johan pun menekankan pentingnya penentuan dosis pemanfaatan sinar pengion terutama sinar X. Terkait penelitian ini, Johan menggandeng dua orang mahasiswa Fisika Medis Jurusan Fisika FMIPA. "Mereka saat ini tengah melakukan penelitian sejak Bulan April 2010", kata dia.

Fisika Medis

Alat merupakan salah satu faktor penyebab seringnya terjadi malpraktik radiologi disampinghuman error, yang sangat kecil angkanya. "Pada umumnya radiographer hanya tinggal mengoperasikan alat sesuai petunjuk baku", ujar Johan. Terkait Quality Assurance dan Quality Control alat-alat radiologi, tambahnya, merupakan salah satu job description Fisika Medis. "Idealnya, pada sebuah instalasi radiografi di rumah sakit, disamping mempekerjakan Spesialis Radiologi (SpR) juga mempekerjakan Fisika Medis", terangnya. "Namun sayangnya, hal tersebut belum banyak dilakukan rumah sakit di Indonesia", kata dia. Hal ini berbeda dengan rumah sakit di Australia yang telah banyak mempekerjakan fisika medis. "Fisika medis telah banyak dipekerjakan di Australia bahkan wajib bagi instansi yang memanfaatkan sumber-sumber radiasi untuk tindakan klinis sehingga penanganan radiografi lebih terjamin. Di sana limbah bekas radioaktif ditangani khusus oleh para fisika medis ini", tambahnya. Di Indonesia, untuk sementara penanganan alat tersebut berada dibawah pengawasan Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) yang bertugas diantaranya mengkalibrasi alat-alat radiografi. Mensitir keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 048/MENKES/SK/I/2007 tentang Penetapan Fisika Medik Sebagai Tenaga Kesehatan, Johan pun menekankan pentingnya keberadaan fisika medis di berbagai rumah sakit di Indonesia

Melihat berbagai bahaya yang ditimbulkan, Johan Noor menyayangkan persepsi dan perhatian berbagai pihak yang mengira bahwa radiasi hanya berkaitan dengan nuklir saja. "Padahal alat-alat radiografi seperti CT scan dan sinar X merupakan penyumbang radiasi hingga 40 persen dengan kecenderungan meningkat karena semakin canggihnya berbagai peralatan tersebut", kata dia. Teknologi CT Scan generasi kelima misalnya, telah sampai pada Multi Slice Multi Detector (MSMD) dengan hasil hingga 64 foto. Ketergantungan dokter yang sangat tinggi padadigital imaging menurutnya turut pula meningkatkan resiko tersebut. "Saat ini radiografi merupakan satu-satunya solusi untuk melihat kondisi organ dalam", katanya.

Memprediksi semakin tingginya kebutuhan Fisika Medis di Indonesia pada masa mendatang, Johan Noor bersama rekan-rekannya di Jurusan Fisika FMIPA-UB, saat ini tengah menggodog rencana mendirikan program magister Fisika Medis. Terkait pendirian ini, pihaknya berinisiatif untuk menggandeng Sir Charles Gairdner Hospital Australia. Di Indonesia, menurutnya, Magister Fisika Medis baru berada di Universitas Indonesia (UI) yang berkolaborasi dengan Batan, Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Rumah Sakit Pertamina. 

sumber: http://prasetya.ub.ac.id/berita/Dr-Johan-Noor-Fisika-Medis-Semakin-Dibutuhkan-Dunia-Radiologi-1725-id.html


0 comments:

Post a Comment